Independen News

Pencopotan Kunto Arief Wibowo: Tragedi Jabatan di Tengah Pusaran Politik Sektoral


OPINI PUBLIK

Oleh
Isanudin

Rabu, 30 April 2025 - 15:51 WIB  

Mari kita kejar logika di balik drama militer ini. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dengan tangan besi dan kalkulasi politik yang dingin, mengguncang struktur TNI lewat mutasi besar-besaran. Salah satu yang jadi korban adalah Letjen Kunto Arief Wibowo, Pangkogabwilhan I, yang baru empat bulan menjabat sejak Januari 2025. Empat bulan! Ini bukan soal kompetensi, ini soal politik sektoral yang bermain di belakang layar. Kunto, putra Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno—mantan Wapres dan Panglima ABRI—ditarik dari posisinya dan dilempar jadi Staf Khusus KSAD. Ini bukan mutasi biasa, ini pukulan telak yang menunjukkan betapa rapuhnya sebuah jabatan kalau tak punya tameng sektoral yang kuat.

Jangan terjebak narasi formal. Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025, diterbitkan 29 April 2025, memang bilang ini soal rotasi biasa. Tapi, mari kita bongkar. Kunto Arief baru empat bulan di Pangkogabwilhan I, sebuah posisi strategis yang mengawal pertahanan Indonesia bagian barat. Tiba-tiba, dia dicopot, bersamaan dengan mutasi pos lain seperti Panglima Koarmada III dan Panglima Koopsud I. Ini bukan soal kebutuhan organisasi, ini soal permainan kekuasaan. Kunto jadi korban karena ayahnya, Try Sutrisno, masuk dalam barisan 103 purnawirawan yang berani menentang Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Logikanya sederhana: kalau bapakmu berseberangan dengan kekuatan dominan, anakmu yang jadi perwira tinggi akan jadi sasaran empuk.

Kunto Arief Wibowo bukan sembarang nama. Dia anak Try Sutrisno, tokoh yang punya sejarah besar di militer dan politik Indonesia. Tapi, sejarah itu ternyata tak cukup. Try Sutrisno, bersama 103 purnawirawan lain—termasuk nama-nama seperti Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, dan Slamet Soebijanto—lantang menyerukan pencopotan Gibran. Ini bukan soal moral, ini soal pertarungan sektoral. Di sisi lain, ada Agus Subiyanto, Panglima TNI yang jadi eksekutor. Siapa yang menyokong Agus? Tentu saja kekuatan politik yang sedang berkuasa, yang tak suka dengan suara-suara oposisi dari para purnawirawan. Kunto jadi korban kolateral dalam perang sektoral ini.

Keputusan mutasi diterbitkan pada 29 April 2025, diumumkan sehari kemudian, 30 April 2025. Ini berlaku nasional, tapi fokusnya ada di Pangkogabwilhan I, yang mengelola pertahanan di wilayah barat Indonesia. Bayangkan, sebuah posisi sekrusial ini, tapi orangnya hanya bertahan empat bulan. Ini bukan soal waktu, ini soal kekuatan yang bermain di belakang layar.

Mari kita ke inti masalah: dukungan sektoral. Apa itu? Itu adalah tameng politik yang melindungi jabatanmu. Di TNI, kau tak bisa berdiri sendiri. Kau butuh faksi internal—misalnya dukungan dari angkatan darat atau jaringan alumni—dan dukungan eksternal, seperti restu dari kekuatan politik yang berkuasa. Kunto tak punya itu. Ayahnya, Try Sutrisno, berada di kubu yang salah, kubu yang menentang Gibran dan, secara tak langsung, menentang rezim yang sedang dominan. Akibatnya? Kunto tak punya pelindung sektoral. Jabatannya, meski strategis, jadi rapuh seperti kertas di tengah badai politik.
Kapuspen TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, bilang ini soal “pembinaan karier” dan “kebutuhan organisasi.” Tapi, mari kita jujur, ini narasi klise. Ini bukan soal karier, ini soal politik. Kunto dicopot bukan karena dia gagal, tapi karena dia tak punya tameng politik yang cukup kuat untuk melawan tekanan dari atas.

Publik terbelah. Ada yang bilang, “Hidup Prabowo! Ini langkah tegas,” seperti kata Hari Mustopa di kolom komentar. Tapi ada juga yang melihat ini sebagai tragedi politik, seperti Rudi Cirebon yang bilang, “Bapaknya protes, anaknya kena imbas. Inilah Indonesia.” Saya setuju dengan yang terakhir. Ini adalah cerminan nyata betapa kotornya permainan sektoral. Tanpa dukungan faksi internal TNI dan restu politik eksternal, kau tak akan bertahan. Kunto, meski anak jenderal besar, tak punya kekuatan sektoral untuk melawan arus politik yang sedang dominan.
Maknanya? Di TNI, kompetensi saja tak cukup. Kau butuh jaringan, kau butuh tameng. Tanpa itu, jabatanmu—sek strategis apa pun—hanya formalitas yang bisa dicabut kapan saja. Ini pelajaran keras: di dunia militer, politik sektoral lebih menentukan daripada prestasi.

Pencopotan Kunto Arief Wibowo adalah tragedi kecil dalam panggung besar politik Indonesia. Ini bukti bahwa jabatan strategis di TNI bukan soal kemampuan, tapi soal siapa yang menyokongmu. Kunto jadi korban karena ayahnya, Try Sutrisno, berada di kubu yang salah. Tanpa dukungan sektoral—baik dari faksi TNI maupun kekuatan politik luar—dia tak punya daya tahan. Ini bukan soal keadilan, ini soal logika kekuasaan. Dan logika itu berkata: kalau kau tak punya tameng, kau akan jatuh, secepat kilat.

Type and hit Enter to search

Close