Konflik lahan di Puncak, Bogor, kembali mencuat. Karukunan Wargi Puncak (KWP) menyoroti warga Cisarua-Megamendung yang mendiami lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN. Status tanah tak jelas, ancaman bencana mengintai. Warga, KWP, dan pengamat menilai pemerintah daerah kurang peduli, sementara PTPN bungkam. "Selesaikan dulu masalah kampung sendiri," tegas Dede Rahmat, Sekretaris KWP.Rabu (13/8).
Warga menduduki lahan HGU puluhan tahun. Beberapa rumah berdiri sejak generasi kakek-nenek. Secara hukum, tanah tercatat atas nama PTPN. Warga hidup dalam ketidakpastian, terancam penggusuran, di lereng rawan longsor. "Kami turun-temurun di sini, tiap tahun takut diusir. Pemerintah cuma bilang tunggu keputusan Bupati atau Gubernur," ujar seorang warga. KWP mencatat konflik ini terjadi sejak 2010. Laporan warga ke pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten minim respons.
PTPN, pemegang HGU, menjadi sumber masalah. Perusahaan kuasai lahan, tanpa solusi konkret bagi warga. Desmanto, perwakilan PTPN, menunggu surat resmi dari pemerintah daerah sebelum bertindak. KWP menilai ini bentuk ketidakpedulian PTPN. "Tolong sampaikan masalah ini jika ada koneksi! Jangan tunggu ada korban lagi," kata Dede Rahmat.
Pemerintah daerah juga disorot. Saat bencana, bantuan sementara disalurkan, tanpa mitigasi atau solusi sengketa jangka panjang. "Ambil secukupnya, gunakan sesuai kebutuhan. Kerusakan tidak akan terjadi kalau kita mampu menjaganya," tegas Dede Rahmat. KWP menilai pemerintah kurang empati. Warga selalu dalam risiko tinggi tanpa langkah strategis.
Maret–Agustus 2025, enam warga tewas akibat bencana alam. Rumah rapuh, akses darurat terbatas, tanpa rencana evakuasi terpadu. "Kami cuma minta hak hidup. Tapi pemerintah diam," keluh seorang warga. Data KWP tunjukkan banyak korban longsor dan banjir kecil yang bisa dicegah dengan mitigasi efektif.
Kurangnya pendampingan LSM dan pemerintah membuat warga terpinggirkan. Banyak kehilangan dokumen atau tak punya surat tanah. "Semua ini skenario Yang Maha Kuasa. Kita diperintahkan berupaya. Semoga KWP jadi wadah persatuan Wargi Puncak untuk kehidupan lebih baik. Kesampingkan ego, sektoral, dan perbedaan pandangan," kata Dede Rahmat.
KWP menekankan pentingnya meneladani pejuang kemerdekaan di Puncak, yang mempertahankan kelestarian tanah dan kemanusiaan. "Sekarang giliran kita. Jangan sampai warisan itu dirusak oleh kita sendiri," pungkas Dede.
- Enam korban jiwa akibat bencana Maret–Agustus 2025.
- Warga Cisarua–Megamendung tinggal di lahan HGU tanpa kepastian hukum.
- PTPN bungkam soal solusi.
- Pemerintah minim empati, hanya salurkan bantuan sementara.
- Banyak warga kehilangan dokumen kepemilikan.
- Risiko bencana tinggi.
Sengketa lahan dan risiko bencana di Puncak menuntut perhatian serius. KWP menekankan: warga Puncak harus bersatu, peka, dan peduli; pemerintah harus beri kepastian hukum; PTPN harus bertanggung jawab dan beri solusi nyata; kelestarian lingkungan harus dijaga. "Saatnya kita bergerak bersama. Jangan tunggu bencana berikutnya. Bangkit, bersatu, dan selamatkan tanah kelahiran kita. Peka dan peduli adalah kunci menyelamatkan kampung dan anak cucu kita," tegas Dede Rahmat.
Penulis: Joe Salim
Social Footer